Dalam perlombaan mengejar ketertinggalan infrastruktur, pemerintah tidak bisa berlari sendirian. Keterbatasan APBN menuntut adanya solusi pendanaan kreatif. Di sinilah skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) hadir sebagai “jembatan” strategis. Skema public private partnership (KPBU) ini memungkinkan pemerintah dan swasta berbagi sumber daya, keahlian, dan risiko untuk menyediakan layanan publik yang berkualitas.
Namun, tidak semua proyek KPBU lahir dari proses yang sama. Ada dua “pintu masuk” utama untuk sebuah proyek kerjasama: proyek yang diinisiasi oleh pemerintah (Solicited) dan proyek yang diusulkan oleh swasta (Unsolicited).
Meskipun tujuannya sama—membangun infrastruktur—kedua jalur ini memiliki perbedaan prosedural dan teknis yang sangat fundamental. Perbedaan ini memengaruhi segalanya, mulai dari siapa yang menyusun studi kelayakan, bagaimana proses tendernya, hingga tingkat inovasi yang ditawarkan. Memahami perbedaan ini adalah kunci, baik bagi pemerintah (PJPK) yang ingin memastikan proyek sesuai prioritas, maupun bagi badan usaha yang ingin mengajukan proposal.
1. KPBU Solicited (Prakarsa Pemerintah): Rute Terencana
Ini adalah jalur “tradisional” dan yang paling umum dipahami dari skema KPBU.
Definisi:
Proyek KPBU Solicited adalah proyek infrastruktur yang diidentifikasi, direncanakan, dan disiapkan oleh pemerintah (dalam hal ini Penanggung Jawab Proyek Kerjasama atau PJPK). Pemerintah “mengundang” (to solicit) badan usaha untuk berpartisipasi dalam proyek yang sudah ada dalam daftar rencana pembangunan.
Filosofi:
Proyek ini lahir dari kebutuhan publik yang teridentifikasi secara top-down. Pemerintah sudah tahu apa yang dibutuhkan, di mana lokasinya, dan apa tujuannya. Proyek ini biasanya sudah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN), Rencana Strategis (Renstra) kementerian/lembaga, atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Perbedaan Teknis dan Prosedural (Solicited)
Langkah-langkah dalam jalur solicited sangat terstruktur dan dipimpin penuh oleh PJPK.
Tahap Perencanaan (Planning):
- Inisiatif: 100% dari PJPK (Menteri, Kepala Lembaga, atau Kepala Daerah).
- Studi Pendahuluan: PJPK menyusun Studi Pendahuluan (Outline Business Case/OBC) untuk mengidentifikasi kebutuhan, kesesuaian skema KPBU, dan kelayakan awal.
Tahap Penyiapan (Preparation):
- Studi Kelayakan (Feasibility Study/FS): Ini adalah poin krusial. PJPK bertanggung jawab penuh untuk menyusun (atau menunjuk konsultan untuk menyusun) Studi Kelayakan yang komprehensif. Studi ini mencakup analisis teknis, analisis permintaan (demand), desain awal, analisis biaya-manfaat, kelayakan ekonomi dan finansial, serta struktur KPBU yang diusulkan.
- Biaya Studi Kelayakan: Ditanggung sepenuhnya oleh anggaran PJPK (APBN/D).
- Penetapan Lokasi & Perizinan Awal: PJPK juga bertanggung jawab mengamankan dokumen perencanaan krusial, seperti penetapan lokasi (jika diperlukan) dan izin lingkungan awal.
Tahap Transaksi (Procurement/Tender):
- Proses: PJPK membentuk panitia lelang dan melaksanakan tender (pelelangan) yang terbuka dan kompetitif.
- Persaingan: Ini adalah lelang terbuka penuh. Semua peserta (badan usaha) bersaing di “lapangan” yang sama (level playing field). Mereka mengajukan penawaran teknis dan finansial berdasarkan spesifikasi dan dokumen lelang yang telah disiapkan oleh PJPK.
- Penilaian: Pemenang adalah peserta yang memberikan penawaran terbaik (kombinasi teknis terbaik, biaya terendah bagi pemerintah, atau tarif terendah bagi publik) sesuai kriteria yang ditetapkan PJPK.
Karakteristik Utama (Solicited):
- Kontrol Pemerintah: Sangat tinggi. Pemerintah mendefinisikan proyek, ruang lingkup, dan spesifikasi teknis sejak awal.
- Inovasi: Ruang inovasi dari swasta cenderung terbatas pada apa yang diminta dalam dokumen lelang.
- Kesesuaian: Dijamin 100% sesuai dengan prioritas pembangunan nasional/daerah.
2. KPBU Unsolicited (Prakarsa Badan Usaha): Rute Inovasi
Ini adalah jalur yang didorong oleh pasar (market-driven), di mana swasta datang “mengetuk pintu” pemerintah dengan sebuah ide proyek.
Definisi:
Proyek KPBU Unsolicited adalah proyek infrastruktur yang diusulkan atas prakarsa badan usaha (swasta). Proyek ini tidak tercantum dalam rencana pengadaan (procurement plan) pemerintah yang sudah ada.
Filosofi:
Proyek ini lahir secara bottom-up. Badan usaha (pemrakarsa) mungkin melihat sebuah peluang pasar, memiliki teknologi baru yang efisien, atau menemukan solusi inovatif untuk masalah publik yang belum teridentifikasi oleh pemerintah.
Proyek unsolicited seringkali bertindak sebagai ‘percikan’ inovasi yang menyulut api pembangunan di area yang mungkin belum terjamah oleh radar perencanaan formal pemerintah.
Perbedaan Teknis dan Prosedural (Unsolicited)
Jalur unsolicited memiliki alur yang sangat berbeda, terutama di tahap awal dan tahap tender.
Tahap Perencanaan (Inisiatif Swasta):
- Inisiatif: 100% dari Badan Usaha (Pemrakarsa).
- Studi Kelayakan (Feasibility Study/FS): Ini adalah perbedaan teknis terbesar. Pemrakarsa wajib menyusun Studi Kelayakan yang lengkap atas inisiatif dan biayanya sendiri.
- Biaya Studi Kelayakan: Ditanggung sepenuhnya oleh Pemrakarsa. Ini adalah risiko awal yang harus diambil swasta.
Tahap Penyiapan (Evaluasi oleh PJPK):
- Pengajuan: Pemrakarsa mengajukan proposal dan Studi Kelayakan kepada PJPK yang relevan.
- Evaluasi PJPK: PJPK (pemerintah) kemudian mengevaluasi proposal tersebut. Kriteria utamanya adalah:
- Kelayakan Teknis & Ekonomi: Apakah proyek ini masuk akal?
- Kesesuaian dengan Rencana: Apakah proyek ini, meskipun tidak ada di daftar, sejalan dengan Rencana Induk (Master Plan) sektor atau wilayah?
- Manfaat Publik: Apakah proyek ini benar-benar dibutuhkan publik?
- Tidak Membebani Keuangan Negara: Apakah skema finansialnya wajar?
- Persetujuan: Jika PJPK setuju, PJPK akan menetapkan proposal tersebut sebagai Proyek KPBU Prakarsa Badan Usaha.
Tahap Transaksi (Procurement/Tender):
- Wajib Tender: Ini adalah miskonsepsi yang paling umum. Proyek unsolicited yang disetujui TETAP WAJIB DILELANG oleh PJPK untuk menjaga transparansi dan persaingan.
- Proses: “Swiss Challenge”
Ini adalah perbedaan prosedural terbesar. Lelang ini tidak seperti lelang terbuka biasa.- PJPK mengumumkan lelang secara terbuka, menggunakan Studi Kelayakan dari Pemrakarsa sebagai dasar (benchmark).
- Badan usaha lain (“Penantang” atau Challenger) diundang untuk mengajukan penawaran tandingan.
- Jika ada Penantang yang memberikan penawaran lebih baik (misal: biaya lebih murah, teknologi lebih baik) daripada Pemrakarsa, lelang belum selesai.
- Pemrakarsa diberikan “Hak Menyamakan Penawaran” (Right to Match). Pemrakarsa berhak untuk “menyamai” penawaran terbaik yang diajukan oleh Penantang. Jika Pemrakarsa menggunakan haknya, merekalah yang dinyatakan sebagai pemenang.
3. Poin Kritis: Hak Istimewa Pemrakarsa (Unsolicited)
Mengapa ada badan usaha yang mau mengambil risiko menyusun Studi Kelayakan mahal jika pada akhirnya proyeknya tetap dilelang? Jawabannya adalah “insentif” yang diatur dalam regulasi public private partnership.
Ada dua bentuk kompensasi utama bagi Pemrakarsa:
1. Right to Match (Hak Menyamakan Penawaran)
Seperti dijelaskan di atas, ini adalah keuntungan terbesar. Pemrakarsa pada dasarnya mendapat “kesempatan kedua”. Ini adalah insentif yang kuat karena mereka tidak akan mudah “dibajak” oleh pesaing yang hanya meniru ide mereka dengan margin tipis.
2. Kompensasi Biaya (Jika Kalah Tender)
Bagaimana jika ada Penantang yang tawarannya jauh lebih baik (misalnya, 20% lebih murah) sehingga Pemrakarsa memutuskan untuk tidak menggunakan Right to Match? Apakah uang Studi Kelayakan mereka hangus?
Tidak. Regulasi (seperti Perpres 38/2015 dan aturan turunannya) menetapkan bahwa jika Pemrakarsa kalah dalam lelang Swiss Challenge, mereka berhak atas kompensasi. Kompensasi ini bisa berupa:
- Penggantian biaya penyusunan Studi Kelayakan (dengan nilai wajar yang sudah diaudit); atau
- Tambahan nilai/skor tertentu (jika diatur dalam dokumen lelang).
Siapa yang membayar kompensasi ini? Pemenang lelang (si Penantang). Ini adil, karena Pemenang lelang pada dasarnya menggunakan hasil kerja keras (Studi Kelayakan) milik Pemrakarsa sebagai dasar proyek mereka.
Analisis Perbandingan: Solicited vs. Unsolicited
|
Fitur |
KPBU Solicited (Prakarsa Pemerintah) |
KPBU Unsolicited (Prakarsa Badan Usaha) |
| Inisiator | Pemerintah (PJPK) | Swasta (Badan Usaha Pemrakarsa) |
| Studi Kelayakan (FS) | Disusun dan dibiayai oleh PJPK (APBN/D) | Disusun dan dibiayai oleh Swasta Pemrakarsa |
| Kesesuaian Proyek | Pasti sesuai prioritas (sudah ada di rencana) | Perlu dievaluasi kesesuaiannya oleh PJPK |
| Karakteristik Proyek | Seringkali proyek besar, strategis, dan jelas kebutuhannya. | Seringkali inovatif, menggunakan teknologi baru, atau mengisi celah pasar. |
| Proses Tender | Lelang Terbuka Kompetitif Penuh | Swiss Challenge (Lelang dengan insentif untuk Pemrakarsa) |
| Hak Istimewa Swasta | Tidak ada. Semua peserta setara. | Pemrakarsa memiliki “Right to Match” atau hak atas Kompensasi. |
| Kelebihan Utama | Transparansi maksimal, persaingan tinggi, sejalan dengan rencana. | Mendorong inovasi swasta, identifikasi proyek lebih cepat, mengurangi beban PJPK di tahap studi. |
| Kekurangan Utama | Bisa lambat (tergantung birokrasi), spesifikasi bisa kaku. | Risiko proposal tidak sesuai prioritas publik, potensi persaingan kurang ketat (karena Right to Match). |
Kesimpulan: Dua Jalur, Satu Tujuan
Baik jalur solicited maupun unsolicited memiliki peran vital dalam ekosistem public private partnership di Indonesia. Skema solicited memastikan bahwa proyek-proyek prioritas utama negara yang membutuhkan pendanaan besar dapat dieksekusi dengan persaingan yang transparan. Di sisi lain, skema unsolicited membuka pintu bagi inovasi, keahlian, dan teknologi baru dari sektor swasta, yang mungkin tidak terpikirkan oleh perencana pemerintah.
Memahami seluk-beluk teknis dan prosedural dari setiap skema public private partnership adalah kunci suksesnya proyek. Baik Anda sebagai badan usaha pemrakarsa atau PJPK yang sedang merancang tender, dukungan ahli sangat diperlukan. Hubungi PT PII untuk mendapatkan panduan dan layanan penjaminan dalam menavigasi kompleksitas KPBU di Indonesia.
